TUGAS UAS
MATA KULIAH
ORIENTASI BARU DALAM
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen Pengampu: Dr.
Tuti Iriani, M.Si.
“TAKE HOME EXAM”
Oleh:
Yohannes Agatha Engel,
S.T.Gr 7136130747
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER –
PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN (S2 – PTK)
FAKULTAS TEKNIK – PPs – UNIVERSITAS NEGERI
JAKARTA
2013
TAKE
HOME EXAM
MATA
KULIAH :
ORIENTASI
BARU PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN KEJURUAN
KERJAKAN SOAL UAS DIBAWAH INI, DAN
DIKUMPUL PADA HARI JUMAT TANGGAL 10
JANUARI 2013 JAM 11 SIANG TEPAT.
JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI.
1.
Dalam ilmu
psikologi, kita mengenal berbagai perspektif yaitu Perspektif psikologi,
perspektif perilaku, perspektif kognitif, perspektif psikoanalitik dan
perspektif fenomenologis. Jelaskan
masing-masing perspektif tersebut disertai dengan contoh.
2.
Jelaskan
hubungan antara proses pembelajaran, proses belajar dan hasil belajar.
3.
Guru menugaskan
siswa untuk membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya. Menurut
teori connectionism, dalil belajar apa yang diterapkan oleh guru tersebut.
Jelaskan.
4.
Hasil belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Teori siapa yang melandasi
pernyataan tersebut. Jelaskan.
5.
Pekerjaan rumah
merupakan tradisi yang selalu terjadi dalam proses pembelajaran. Ketika guru
memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, prinsip dan teori Hull yang mana yang
diaplikasikan. Jelaskan.
6.
Jelaskan apa
yang dimaksud dengan aspek kogntif dan aspek psikologis dalam pandangan teori
belajar kognitif.
7.
Jelaskan
faktor-faktor yang menunjang psikologi kognitif sehingga banyak digunakan
sampai saat ini.
8.
Jelaskan
perbedaan yang esensial antara teori behavioristik, teorikognitif dan
teorisosial.
9.
Pada lampiran
adalah hasil penelitian tentang hubungan antara harga diri dengan prestasi
belajar. Pelajari hasil penelitian tsb dan jelaskan :
a.
Latar belakang
(apa yg mendasari masalah itu dikaji)
b.
Tujuan
penelitian
c.
Teori yang
digunakan
d.
Indikator
e.
Hasil kajian
f.
Kelebihan dan kekurangan dari kajian tersebut.
-M-
JAWABAN SOAL:
1.
Perspektif dalam Ilmu Psikologi:
1.1.
Perspektif psikologi
Perspektif Psikologi sama seperti dengan
sebuah lensa yang tidak sempurna, dapat melihat beberapa aspek secara nyata,
ada yang terlalu cekung atau cembung, dan bahkan ada yang membuat pengguna
lensa menjadi buta mengenai hal-hal yang ada pada sekeliling mereka. Tetapi
tanpa menggunakan lensa tersebut maka pengguna lensa akan tidak dapat melihat
sekitarnya atau menjadi buta total. Hal ini dikarenakan ada hubungan yang
terjadi antara realita atau kenyataan dengan interpretasi dari pengetahuan.
Hubungan antara realita dengan interprestasi
pengetahuan itu dideskripsikan oleh Kuhn, ahli filsafat ilmu pengetahuan. Hasil
observasi Kuhn menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bertambah melalui
akumulasi fakta-fakta, melainkan ilmu pengetahuan bertambah berdasarkan
perkembangan dan paradigma yang lebih baik. Paradigma disini berdasarkan sebuah
sistem yang luas mengenai asumsi teori dimana komunitas ilmuwan digunakan untuk
membuat perasaan dari sebuah pengalaman.
Paradigma memiliki tiga komponen, yaitu:
1)
Berisi sekumpulan tuntutan teori yang memberikan sebuah
model atau gambaran abstrak dari objek pembelajaran.
2)
Berisi sekumpulan kiasan yang membandingkan objek
investigasi dengan yang lain yang sudah dipahami.
3)
Berisi sekumpulan metode-metode yang disetujui oleh
anggota-anggota komunitas ilmuwan, apabila digunakan sebagaimana mestinya, maka
hasilnya akan valid, dan datanya berguna.
Contoh dari Perspektif Psikologi adalah: Perspektif Perilaku, Perspektif
Kognitif, Perspektif Psikodinamik, dan Perspektif Fenomenologis.
1.2.
Perspektif perilaku
Perspektif Perilaku dikenal dengan Perspektif behaviorisme.
Perspektif behaviorisme ini berfokus pada hubungan diantara objek atau kejadian
yang berada di dalam lingkungan (stimulus) dimana ada manusia yang akan
merespon kejadian itu. Secara sederhana, perspektif behaviorisme ini dapat
dijelaskan dalam model S – R atau suatu kaitan antara Stimulus – Respon.
Penjelasan ini berarti tingkah laku adalah seperti reflek dari sebuah stimulant
tanpa adanya kerja mental sama sekali.
Dalam perspektif ini terdapat penekanan pada hubungan antara
obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa (stimulan) dengan manusia yang
meresponnya. Jadi perspektif ini menekankan bahwa perilaku manusia dapat
dikontrol oleh kondisi lingkungan. Dengan catatan bahwa setiap perubahan
lingkungan, baik menguat (reinforcement)
maupun menurun (punishment), pasti
bisa memberi dampak pada perubahan perilaku.
Contoh dari perspektif ini adalah seorang anak yang awalnya tinggal dalam
lingkungan keluarga yang pemalu, suatu hari memilih untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi yang terkenal dengan kegiatan organisasi mahasiswanya. Selama
bergaul dan berbaur dengan teman-temannya di kampus tanpa ada peran intensif
dari kedua orangtuanya yang tertutup maka anak tersebut akan berubah menjadi
pribadi yang terbuka. Bahkan dia menjadi mahasiswa aktif dalam organisasi di
kampusnya.
1.3.
Perspektif kognitif
Perspektif kognitif menekankan bahwa perubahan dari tingkah
laku adalah suatu proses mental. Proses mental berarti bahwa adanya peran aktif
dari responder/manusia dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi
stimulus sebelum melakukan reaksi yang tepat dari stimuan tersebut. Model yang
tepat untuk perspektif kognitif ini adalah S – O – R. Model ini menjelaskan
bahwa Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum
memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
Perspektif kognitif diibaratkan seperti layaknya sebuah
komputer. Lingkungan adalah pensuplai input, yang kemudian ditransformasikan
(menjadi konsep/kategori), disimpan, dan selanjutnya diretrivasi menggunakan
beragam program mental hingga keluar respon sebagai ouput-nya. Perspektif
kognitif cenderung mempelajari proses, seperti ingatan dan pemahaman dalam
pengambilan keputusan yang melibatkan emosi dan motivasi. Perspektif kognitif
ini memandang bahwa cara orang berfikir dan konsep-konsep yang mereka pegang
tentang keadaan takut atau senang, memainkan peran substansial dalam
pembentukan emosi.
Contoh dari perspektif ini hampir serupa pada contoh dari perspektif behaviorisme.
Namun, didalam perspektif kognitif dinyatakan bahwa anak tersebut tidak
langsung menerima lingkungan barunya tersebut. Tetapi ada proses yang
dilewatinya dengan mengolah, menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi
setiap stimulan yang diperoleh dirinya.
1.4.
Perspektif psikoanalitik
Perspektif psikoanalitik adalah perkembangan dari perspektif
psikodinamik yang mengembangkan pendekatan untuk memahami fenomena kelainan
psikologis. Teori dari perspektif psikoanalitik ini menekankan pada psikodinamia,
yakni “the dynamic interplay of mental
forces”, terjemahan: “dinamika
berinteraksi dengan kekuatan mental”. Beberapa asumsi dasar dari
psikodinamika, yaitu:
1) Perbuatan manusia ditentukan oleh
cara mereka dalam berpikir, merasakan, dan berkehendak yang terhubung dalam
jiwa
2) Banyak peristiwa mental terjadi
diluar kesadaran (tak tersadari) seperti sebuah ungkapan berikut: “Unconscious motives may be out of sight, but
they are not out of mind”, terjemahan: “Secara tak sadar motif/keinginan mungkin terlihat,
tetapi mereka tidak keluar begitu saja dari pikiran”.
Proses mental ini bisa jadi berseberangan antara satu dengan
lainnya hingga berlangsung kompromi antar-motif yang bersaing tersebut. Pemahaman
perspektif psikodinamik beusaha untuk menafsirkan makna, yaitu, untuk
menyimpulkan keinginan yang mendasari rasa takut, perilaku dan pola pikir sadar
seseoang. Psikodinamika menginterpretasikan makna-makna dengan memakai segala
macam bentuk informasi.
Contoh dari perspektif psikodinamik ini adalah ketika seseorang
yang menikah di usia muda dihadapkan pada sebuah pilihan melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi atau langsung mencari pekerjaan untuk
membantu perekonomian rumah tangganya. Dalam menentukan pilihannya, maka orang
ini akan didasari pada rasa takut apabila dia salah mengambil pilihan yang
tepat, menjadi cemas, dan mulai mencari jawaban atas pilihannya dengan mencari
sumber-sumber terkait yang bisa dipercaya. Orang ini akan melakukan observasi
dengan bertanya pada orang lain yang bisa dipercaya atau melakukan diskusi
bersama istrinya.
1.5.
Perspektif
fenomenologis
Pendekatan
perspektif ini lebih menekankan pada rasionalisme
dan realitas budaya yang ada pada lingkungan hidup manusia. Hal ini
sejalan dengan penelitian etnografi yang
biasanya menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dan kenyataaan dari sebuah fenomena yang terjadi akan dipandang
lebih penting dan dominan dibanding teori-teori yang mendasar dan belum
terbukti.
Perspektif
fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau
pelakunya. Menurut paham perspektif fenomenologi, ilmu bukanlah values free, yaitu bebas nilai dari apa
pun, melainkan ilmu adalah values bound, yaitu memiliki hubungan dengan nilai.
Dasar perspektif fenomenologi adalah:
1) kenyataan selalu
ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok yang bersifat
majemuk atau ganda, yang tersusun secara kompleks, dan dengan demikian hanya
bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas;
2) adanya hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri yang saling mempengaruhi,
dan keduanya sulit dipisahkan;
3) lebih ke arah pada kasus-kasus atau
fenomena yang terjadi di lingkungan tersebut, bukan untuk menggeneralisasikan
hasil penelitian;
4) sulit
membedakan antara sebab dan akibat, karena situasi yang berlangsung terjadi secara
simultan;
5) inkuiri
terikat oleh nilai-nilai, bukan hanya pada values
free.
Contoh dari perspektif fenomenologis ini
adalah seseorang yang berasal dari daerah Medan atau dikenal dengan sebutan
“orang batak” akan percaya pada hal-hal yang sering terjadi didaerahnya
meskipun dia sudah berpindah tempat tinggal di Jakarta. Dia akan membawa
budayanya kedalam kehidupannya di Jakarta. Seperti cara berbicara dan bahasa
daerah yang kental.
2.
Hubungan antara proses pembelajaran, proses belajar
dan hasil belajar.
Dalam
Pasal 1 Nomor 20 Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan proses belajar. Proses
pembelajaran mengandung makna serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar mulai dari perencanaan sampai kepada
evaluasi. Rangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran meliputi tujuan yang
dirumuskan dalam standar kompetensi dan idnikator pencapaian, penentuan materi
pembelajaran, kegiatan atau proses belajar mengajar, pemilihan metode dan media
yang akan digunakan, sampai pada waktu yang dibutuhkan untuk pelaksaan proses
belajar, dan evaluasi pembelajaran.
Bandura
(1997) mengutarakan bahwa proses belajar adalah serangkaian kegiatan yang
terjadi melalui hubungan timbal balik (reciprocal
interaction) peniruan (modelling),
dan pengamatan melalui perilaku orang lain (vicarious
experience). Hal terpenting yang harus diperhatikan didalam proses belajar
adalah kondisi internal siswa (fisik dan psikis) serta adanya jalinan interaksi
antara guru dan peserta didik. Bloom menjelaskan bahwa didalam proses belajar pun memiliki tiga taksonomi
yang penting yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Ketiganya saling
terkait satu sama lain meski memiliki penjabaran yang berbeda satu sama lain.
Hasil
belajar adalah evaluasi dari proses belajar yang telah berlangsung. Hasil
belajar secara langsung akan berhubungan dengan prestasi belajar. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prestasi adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan
nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Hasil belajar dapat diketahui
dari sebuah kegiatan evaluasi pada saat peserta didik diharuskan menggali
kembali atau mengingat informasi apa saja yang telah dijelaskan dalam proses
belajar.
Hubungan
ketiganya dapat disederhanakan seperti gambar dibawah ini:
Gambar 1. Proses
Pembelajaran.
Gambar 1., sudah jelas adalah
proses pembelajaran. Proses belajar berada didalam proses pembelajaran.
Sedangkan, hasil belajar pada Gambar 1., dinyatakan sebagai raw output, yaitu
hasil dari proses belajar yang berlangsung.
3.
Dalil belajar penerapan: “Guru menugaskan siswa
untuk membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya” menurut teori
connectionism.
Teori Connectionis dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874 – 1949). Dalam teori tersebut, Thorndiks mengemukakan
tiga dalil tentang belajar, yaitu
1) "law of effect" (dalil sebab akibat),
2) "law of exercise" ('dalil latihan/pembiasaan), dan
3) "law of readiness" (dalil kesiapan).
Dalil "law of
effect" (sebab akibat) menyatakan bahwa situasi yang diperoleh atau
hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons yang terjadi akan
memperkuat jalinan hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dapat
dimunculkan. Sebaliknya, situasi yang
diperoleh atau hasil yang tidak menyenangkan yang diperoleh pun akan
memperlemah hubungan tersebut.
Dalil "law of exercise" ('dalil latihan/pembiasaan) menyatakan bahwa
latihan atau pembiasaan pada stimulus yang diberikan pasti akan menyempurnakan
respons yang berulang-kali terjadi. Pengulangan situasi atau hasil yang
diperoleh dan atau pengalaman yang diterima pasti akan meningkatkan kemungkinan
munculnya respons yang benar atau tepat dibanding respon sebelumnya. Walaupun
demikian, ada kalanya pengulangan situasi yang tidak menyenangkan pun tidak
akan membantu proses belajar.
Dalil "law of readiness" (dalil kesiapan) menyatakan kondisi¬kondisi
yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika siswa sudah
siap (sudah belajar bahasan materi dari sebelumnya) maka ia akan siap untuk
memunculkan suatu respons atas dasar stirnulus atau kebutuhan yang diberikan.
Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan
pemunculan respons yang tepat. Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk
memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa untuk
memberi respons maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat
memperlemah pemunculan respons yang tepat.
Dari penjelasan ketiga dalil
tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pernyataan “Guru menugaskan siswa untuk
membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya” adalah termasuk dalam dalil persiapan. Dengan
menugaskan siswa untuk membaca bahasan materi sebelumnya maka guru menyiapkan
siswa untuk siap menerima stimulan yang akan diberikan sehingga menghasilkan
respons yang tepat. Dalil persiapan berlaku untuk hal-hal seperti yang
dikemukakan oleh pernyataan tersebut.
Dalam hal ini guru mempersiapkan
siswa agar memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran. Dengan membaca bahan
bacaan atau materi sebelumnya terlebih dahulu, maka siswa akan merasa lebih
siap dalam menghadapi pelajaran. Kesiapan ini juga sangat diperlukan dalam
rangka untuk menciptakan suasana atau kondisi yang menyenangkan dan kondusif
untuk belajar.
4.
Teori yang menyatakan “hasil belajar merupakan
perubahan tingkah laku yang dapat diukur”.
Teori tersebut dikemukakan oleh John B. Watson (I873-1955), meskipun
Watson bukanlah seorang ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku
manusia dalam proses belajar. Namun, Watson adalah seseorang yang menyimpulkan tentang
teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism dari
Thorndike. Menurut Watson, stimulus dan respons memang adalah yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, tetapi perilaku tersebut haruslah
berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).
Dengan demikian, Watson hendak
menyampaikan bahwa dirinya mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin
terjadi dalam proses belajar. Hal tersebut dilakukan dengan pandangan karena perubahan
mental dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua
perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah memang sangat penting. Nnamun,
hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses
belajar atau proses pematangan perkembangan semata saja.
Oleh karena itu, Watson menggagas
bahwa hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan
yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar pasti dapat
diramalkan. Interaksi yang terjadi antara stimulus dan respons terhadap
berbagai situasi -proses pengkondisian- menurut Watson merupakan proses
pengembangan kepribadian dalam diri seseorang. Watson menegaskan bahwa hanya
dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal terjadi pada
seseorang sebagai individu yang diamati sebagai hasil proses belajar dapat
diramalkan.
Contohnya adalah ada seorang anak
perempuan ingin belajar mengendarai sepeda sendiri. Perilaku awal anak
perempuan ini menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda
tersebut. Setelah kakak perempuannya yang baik hati mengajarkan dia caranya
mengendarai sepeda, maka tak berapa lama kemudian, dia dapat mengendarai sepeda
dengan baik. Ada perubahan tingkah laku yang dapat diamati dengan jelas dari
anak perempuan tersebut, pengamatan tersebut adalah dari tidak dapat menjadi
dapat mengendarai sepeda. Perubahan tingkah laku anak perempuan ini sangat
dapat diukur, karena dapat dilihat bahwa ia dapat mengendarai sepeda saat ini.
(bersambung ... ke Part 2)
Daftar Pustaka
E-Makalah. (2013). ”Hakikat Teori
Belajar Behavioristik”. Dilihat di: http://www.emakalah.com/2013/04/hakikat-teori-belajar-behavioristik.html.
Dilihat Tanggal 10 Januari 2014.
Hidayat, T.N. (2011). Perkembangan
Peserta Didik Menurut Perkembangan Aspek Kognitif, Afektif, dan
Psikomotoriknya”. Malang: Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Negeri Malang.
Institut Pertanian Bogor. (2007). ”Tinjauan
Pustaka: Proses Pembelajaran”. Bab II. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Irawati, N., dan Hajat, N. (2012). ”Hubungan
antara Harga Diri (self esteem) dengan Prestasi Belajar pada Siswa SMKN 48 di
Jakarta Timur”. Euro Sains: Halaman 193 – 210, Volume X, Nomor 2, Agustus
2012.
Masdampsi. (2012). ”Perspektif
Psikologi dan Bidang dalam Psikologi”. Dilihat di: http://masdampsi.wordpress.com/2012/12/07/perspektif-psikologi-dan-bidang-dalam-psikologi/.
Dilihat Tanggal: 9 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar