Selasa, 04 Februari 2014

TUGAS UAS MATA KULIAH ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN Part 1



TUGAS UAS


MATA KULIAH
ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen Pengampu: Dr. Tuti Iriani, M.Si.


“TAKE HOME EXAM”





Oleh:
Yohannes Agatha Engel, S.T.Gr              7136130747


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER –
PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN (S2 – PTK)
FAKULTAS TEKNIK – PPs – UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
TAKE HOME EXAM

MATA KULIAH :
ORIENTASI BARU PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN KEJURUAN

KERJAKAN SOAL UAS DIBAWAH INI, DAN DIKUMPUL  PADA HARI JUMAT TANGGAL 10 JANUARI 2013 JAM 11 SIANG TEPAT.
JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI.


1.      Dalam ilmu psikologi, kita mengenal berbagai perspektif yaitu Perspektif psikologi, perspektif perilaku, perspektif kognitif, perspektif psikoanalitik dan perspektif fenomenologis.  Jelaskan masing-masing perspektif tersebut disertai dengan contoh.
2.      Jelaskan hubungan antara proses pembelajaran, proses belajar dan hasil belajar.
3.      Guru menugaskan siswa untuk membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya. Menurut teori connectionism, dalil belajar apa yang diterapkan oleh guru tersebut. Jelaskan.
4.      Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Teori siapa yang melandasi pernyataan tersebut. Jelaskan.
5.      Pekerjaan rumah merupakan tradisi yang selalu terjadi dalam proses pembelajaran. Ketika guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, prinsip dan teori Hull yang mana yang diaplikasikan. Jelaskan.
6.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan aspek kogntif dan aspek psikologis dalam pandangan teori belajar kognitif.
7.      Jelaskan faktor-faktor yang menunjang psikologi kognitif sehingga banyak digunakan sampai saat ini.
8.      Jelaskan perbedaan yang esensial antara teori behavioristik, teorikognitif dan teorisosial.
9.      Pada lampiran adalah hasil penelitian tentang hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar. Pelajari hasil penelitian tsb dan jelaskan :
a.       Latar belakang (apa yg mendasari masalah itu dikaji)
b.      Tujuan penelitian
c.       Teori yang digunakan                              
d.      Indikator
e.       Hasil kajian
f.       Kelebihan dan kekurangan dari kajian tersebut.
-M-

JAWABAN SOAL:



1.      Perspektif dalam Ilmu Psikologi:
1.1.            Perspektif psikologi
Perspektif Psikologi sama seperti dengan sebuah lensa yang tidak sempurna, dapat melihat beberapa aspek secara nyata, ada yang terlalu cekung atau cembung, dan bahkan ada yang membuat pengguna lensa menjadi buta mengenai hal-hal yang ada pada sekeliling mereka. Tetapi tanpa menggunakan lensa tersebut maka pengguna lensa akan tidak dapat melihat sekitarnya atau menjadi buta total. Hal ini dikarenakan ada hubungan yang terjadi antara realita atau kenyataan dengan interpretasi dari pengetahuan.
Hubungan antara realita dengan interprestasi pengetahuan itu dideskripsikan oleh Kuhn, ahli filsafat ilmu pengetahuan. Hasil observasi Kuhn menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bertambah melalui akumulasi fakta-fakta, melainkan ilmu pengetahuan bertambah berdasarkan perkembangan dan paradigma yang lebih baik. Paradigma disini berdasarkan sebuah sistem yang luas mengenai asumsi teori dimana komunitas ilmuwan digunakan untuk membuat perasaan dari sebuah pengalaman.
Paradigma memiliki tiga komponen, yaitu:
1)      Berisi sekumpulan tuntutan teori yang memberikan sebuah model atau gambaran abstrak dari objek pembelajaran.
2)      Berisi sekumpulan kiasan yang membandingkan objek investigasi dengan yang lain yang sudah dipahami.
3)      Berisi sekumpulan metode-metode yang disetujui oleh anggota-anggota komunitas ilmuwan, apabila digunakan sebagaimana mestinya, maka hasilnya akan valid, dan datanya berguna.
Contoh dari Perspektif Psikologi adalah: Perspektif Perilaku, Perspektif Kognitif, Perspektif Psikodinamik, dan Perspektif Fenomenologis.


1.2.            Perspektif perilaku
Perspektif Perilaku dikenal dengan Perspektif behaviorisme. Perspektif behaviorisme ini berfokus pada hubungan diantara objek atau kejadian yang berada di dalam lingkungan (stimulus) dimana ada manusia yang akan merespon kejadian itu. Secara sederhana, perspektif behaviorisme ini dapat dijelaskan dalam model S – R atau suatu kaitan antara Stimulus – Respon. Penjelasan ini berarti tingkah laku adalah seperti reflek dari sebuah stimulant tanpa adanya kerja mental sama sekali.
Dalam perspektif ini terdapat penekanan pada hubungan antara obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa (stimulan) dengan manusia yang meresponnya. Jadi perspektif ini menekankan bahwa perilaku manusia dapat dikontrol oleh kondisi lingkungan. Dengan catatan bahwa setiap perubahan lingkungan, baik menguat (reinforcement) maupun menurun (punishment), pasti bisa memberi dampak pada perubahan perilaku.
Contoh dari perspektif ini adalah seorang anak yang awalnya tinggal dalam lingkungan keluarga yang pemalu, suatu hari memilih untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang terkenal dengan kegiatan organisasi mahasiswanya. Selama bergaul dan berbaur dengan teman-temannya di kampus tanpa ada peran intensif dari kedua orangtuanya yang tertutup maka anak tersebut akan berubah menjadi pribadi yang terbuka. Bahkan dia menjadi mahasiswa aktif dalam organisasi di kampusnya.

1.3.            Perspektif kognitif
Perspektif kognitif menekankan bahwa perubahan dari tingkah laku adalah suatu proses mental. Proses mental berarti bahwa adanya peran aktif dari responder/manusia dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi yang tepat dari stimuan tersebut. Model yang tepat untuk perspektif kognitif ini adalah S – O – R. Model ini menjelaskan bahwa Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
Perspektif kognitif diibaratkan seperti layaknya sebuah komputer. Lingkungan adalah pensuplai input, yang kemudian ditransformasikan (menjadi konsep/kategori), disimpan, dan selanjutnya diretrivasi menggunakan beragam program mental hingga keluar respon sebagai ouput-nya. Perspektif kognitif cenderung mempelajari proses, seperti ingatan dan pemahaman dalam pengambilan keputusan yang melibatkan emosi dan motivasi. Perspektif kognitif ini memandang bahwa cara orang berfikir dan konsep-konsep yang mereka pegang tentang keadaan takut atau senang, memainkan peran substansial dalam pembentukan emosi.
Contoh dari perspektif ini hampir serupa pada contoh dari perspektif behaviorisme. Namun, didalam perspektif kognitif dinyatakan bahwa anak tersebut tidak langsung menerima lingkungan barunya tersebut. Tetapi ada proses yang dilewatinya dengan mengolah, menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi setiap stimulan yang diperoleh dirinya.

1.4.            Perspektif psikoanalitik
Perspektif psikoanalitik adalah perkembangan dari perspektif psikodinamik yang mengembangkan pendekatan untuk memahami fenomena kelainan psikologis. Teori dari perspektif psikoanalitik ini menekankan pada psikodinamia, yakni “the dynamic interplay of mental forces”, terjemahan: “dinamika berinteraksi dengan kekuatan mental”. Beberapa asumsi dasar dari psikodinamika, yaitu:
1)      Perbuatan manusia ditentukan oleh cara mereka dalam berpikir, merasakan, dan berkehendak yang terhubung dalam jiwa
2)      Banyak peristiwa mental terjadi diluar kesadaran (tak tersadari) seperti sebuah ungkapan berikut: “Unconscious motives may be out of sight, but they are not out of mind”, terjemahan: “Secara tak sadar motif/keinginan mungkin terlihat, tetapi mereka tidak keluar begitu saja dari pikiran.
Proses mental ini bisa jadi berseberangan antara satu dengan lainnya hingga berlangsung kompromi antar-motif yang bersaing tersebut. Pemahaman perspektif psikodinamik beusaha untuk menafsirkan makna, yaitu, untuk menyimpulkan keinginan yang mendasari rasa takut, perilaku dan pola pikir sadar seseoang. Psikodinamika menginterpretasikan makna-makna dengan memakai segala macam bentuk informasi.
Contoh dari perspektif psikodinamik ini adalah ketika seseorang yang menikah di usia muda dihadapkan pada sebuah pilihan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi atau langsung mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian rumah tangganya. Dalam menentukan pilihannya, maka orang ini akan didasari pada rasa takut apabila dia salah mengambil pilihan yang tepat, menjadi cemas, dan mulai mencari jawaban atas pilihannya dengan mencari sumber-sumber terkait yang bisa dipercaya. Orang ini akan melakukan observasi dengan bertanya pada orang lain yang bisa dipercaya atau melakukan diskusi bersama istrinya.
1.5.            Perspektif fenomenologis
Pendekatan perspektif ini lebih menekankan pada rasionalisme dan realitas budaya yang ada pada lingkungan hidup manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang biasanya menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dan kenyataaan dari sebuah fenomena yang terjadi akan dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori yang mendasar dan belum terbukti.
Perspektif fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham perspektif fenomenologi, ilmu bukanlah values free, yaitu bebas nilai dari apa pun, melainkan ilmu adalah values bound, yaitu memiliki hubungan dengan nilai. Dasar perspektif fenomenologi adalah:
1)      kenyataan selalu ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok yang bersifat majemuk atau ganda, yang tersusun secara kompleks, dan dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas;
2)      adanya hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri yang saling mempengaruhi, dan keduanya sulit dipisahkan;
3)      lebih ke arah pada kasus-kasus atau fenomena yang terjadi di lingkungan tersebut, bukan untuk menggeneralisasikan hasil penelitian;
4)      sulit membedakan antara sebab dan akibat, karena situasi yang berlangsung terjadi secara simultan;
5)      inkuiri terikat oleh nilai-nilai, bukan hanya pada values free.
      Contoh dari perspektif fenomenologis ini adalah seseorang yang berasal dari daerah Medan atau dikenal dengan sebutan “orang batak” akan percaya pada hal-hal yang sering terjadi didaerahnya meskipun dia sudah berpindah tempat tinggal di Jakarta. Dia akan membawa budayanya kedalam kehidupannya di Jakarta. Seperti cara berbicara dan bahasa daerah yang kental.


2.      Hubungan antara proses pembelajaran, proses belajar dan hasil belajar.
Dalam Pasal 1 Nomor 20 Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan proses belajar. Proses pembelajaran mengandung makna serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar mulai dari perencanaan sampai kepada evaluasi. Rangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran meliputi tujuan yang dirumuskan dalam standar kompetensi dan idnikator pencapaian, penentuan materi pembelajaran, kegiatan atau proses belajar mengajar, pemilihan metode dan media yang akan digunakan, sampai pada waktu yang dibutuhkan untuk pelaksaan proses belajar, dan evaluasi pembelajaran.
Bandura (1997) mengutarakan bahwa proses belajar adalah serangkaian kegiatan yang terjadi melalui hubungan timbal balik (reciprocal interaction) peniruan (modelling), dan pengamatan melalui perilaku orang lain (vicarious experience). Hal terpenting yang harus diperhatikan didalam proses belajar adalah kondisi internal siswa (fisik dan psikis) serta adanya jalinan interaksi antara guru dan peserta didik. Bloom menjelaskan bahwa didalam  proses belajar pun memiliki tiga taksonomi yang penting yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Ketiganya saling terkait satu sama lain meski memiliki penjabaran yang berbeda satu sama lain.
Hasil belajar adalah evaluasi dari proses belajar yang telah berlangsung. Hasil belajar secara langsung akan berhubungan dengan prestasi belajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prestasi adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Hasil belajar dapat diketahui dari sebuah kegiatan evaluasi pada saat peserta didik diharuskan menggali kembali atau mengingat informasi apa saja yang telah dijelaskan dalam proses belajar.
Hubungan ketiganya dapat disederhanakan seperti gambar dibawah ini:
Gambar 1. Proses Pembelajaran.

Gambar 1., sudah jelas adalah proses pembelajaran. Proses belajar berada didalam proses pembelajaran. Sedangkan, hasil belajar pada Gambar 1., dinyatakan sebagai raw output, yaitu hasil dari proses belajar yang berlangsung.

3.      Dalil belajar penerapan: “Guru menugaskan siswa untuk membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya” menurut teori connectionism.
Teori Connectionis dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874 – 1949). Dalam teori tersebut, Thorndiks mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu
1)      "law of effect" (dalil sebab akibat),
2)      "law of exercise" ('dalil latihan/pembiasaan), dan
3)      "law of readiness" (dalil kesiapan).
Dalil "law of effect" (sebab akibat) menyatakan bahwa situasi yang diperoleh atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons yang terjadi akan memperkuat jalinan hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dapat dimunculkan. Sebaliknya,  situasi yang diperoleh atau hasil yang tidak menyenangkan yang diperoleh pun akan memperlemah hubungan tersebut.
Dalil "law of exercise" ('dalil latihan/pembiasaan) menyatakan bahwa latihan atau pembiasaan pada stimulus yang diberikan pasti akan menyempurnakan respons yang berulang-kali terjadi. Pengulangan situasi atau hasil yang diperoleh dan atau pengalaman yang diterima pasti akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar atau tepat dibanding respon sebelumnya. Walaupun demikian, ada kalanya pengulangan situasi yang tidak menyenangkan pun tidak akan membantu proses belajar.
Dalil "law of readiness" (dalil kesiapan) menyatakan kondisi¬kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika siswa sudah siap (sudah belajar bahasan materi dari sebelumnya) maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respons atas dasar stirnulus atau kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons yang tepat. Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa untuk memberi respons maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons yang tepat.
Dari penjelasan ketiga dalil tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pernyataan “Guru menugaskan siswa untuk membaca bahan bacaan tertentu sebelum pertemuan berikutnya” adalah termasuk dalam dalil persiapan. Dengan menugaskan siswa untuk membaca bahasan materi sebelumnya maka guru menyiapkan siswa untuk siap menerima stimulan yang akan diberikan sehingga menghasilkan respons yang tepat. Dalil persiapan berlaku untuk hal-hal seperti yang dikemukakan oleh pernyataan tersebut.
Dalam hal ini guru mempersiapkan siswa agar memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran. Dengan membaca bahan bacaan atau materi sebelumnya terlebih dahulu, maka siswa akan merasa lebih siap dalam menghadapi pelajaran. Kesiapan ini juga sangat diperlukan dalam rangka untuk menciptakan suasana atau kondisi yang menyenangkan dan kondusif untuk belajar.


4.      Teori yang menyatakan “hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur”.
Teori tersebut dikemukakan oleh John B. Watson (I873-1955), meskipun Watson bukanlah seorang ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar. Namun, Watson adalah seseorang yang menyimpulkan tentang teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism dari Thorndike. Menurut Watson, stimulus dan respons memang adalah yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, tetapi perilaku tersebut haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).
Dengan demikian, Watson hendak menyampaikan bahwa dirinya mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam proses belajar. Hal tersebut dilakukan dengan pandangan karena perubahan mental dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah memang sangat penting. Nnamun, hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan perkembangan semata saja.
Oleh karena itu, Watson menggagas bahwa hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar pasti dapat diramalkan. Interaksi yang terjadi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi -proses pengkondisian- menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian dalam diri seseorang. Watson menegaskan bahwa hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai individu yang diamati sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
Contohnya adalah ada seorang anak perempuan ingin belajar mengendarai sepeda sendiri. Perilaku awal anak perempuan ini menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda tersebut. Setelah kakak perempuannya yang baik hati mengajarkan dia caranya mengendarai sepeda, maka tak berapa lama kemudian, dia dapat mengendarai sepeda dengan baik. Ada perubahan tingkah laku yang dapat diamati dengan jelas dari anak perempuan tersebut, pengamatan tersebut adalah dari tidak dapat menjadi dapat mengendarai sepeda. Perubahan tingkah laku anak perempuan ini sangat dapat diukur, karena dapat dilihat bahwa ia dapat mengendarai sepeda saat ini.
(bersambung ... ke Part 2)


Daftar Pustaka
E-Makalah. (2013). ”Hakikat Teori Belajar Behavioristik”. Dilihat di: http://www.emakalah.com/2013/04/hakikat-teori-belajar-behavioristik.html. Dilihat Tanggal 10 Januari 2014.
Hidayat, T.N. (2011). Perkembangan Peserta Didik Menurut Perkembangan Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotoriknya”. Malang: Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang.
Institut Pertanian Bogor. (2007). ”Tinjauan Pustaka: Proses Pembelajaran”. Bab II. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Irawati, N., dan Hajat, N. (2012). ”Hubungan antara Harga Diri (self esteem) dengan Prestasi Belajar pada Siswa SMKN 48 di Jakarta Timur”. Euro Sains: Halaman 193 – 210, Volume X, Nomor 2, Agustus 2012.
Masdampsi. (2012). ”Perspektif Psikologi dan Bidang dalam Psikologi”. Dilihat di: http://masdampsi.wordpress.com/2012/12/07/perspektif-psikologi-dan-bidang-dalam-psikologi/. Dilihat Tanggal: 9 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar